Aren’t We Good Enough to Be Us: Aryo & Anjani
Hai, perkenalkan, saya Aryo. Saya punya seseorang yang dekat dengan saya, mari kita panggil dia Anjani–mahasiswi tingkat akhir di sebuah universitas swasta, di Kota Bandung. Saya sendiri tinggal di Jakarta. Pertama kali, kami bertemu di sebuah kawasan gedung perkantoran dan terakhir kali berpamitan, kami berpelukan, dan saya tahu, pelukan itu adalah sebuah perpisahan–dalam waktu dekat atau jauhnya.
Hari-hari terlihat menyenangkan dan membahagiakan ketika kami pertama kali mencoba intens untuk menelpon. Saya melihat sesuatu dalam dirinya–luka mungkin? Entahlah, sesuatu itu yang membuat saya bertahan hingga saat ini–mungkin?
Jani–seringkali saya menyebutnya, adalah sosok yang rapuh, dia mudah sekali overthinking dan tenggelam dalam ide dan pikirannya. Saya heran sesosok yang rapuh itu bagaimana bisa jadi konselor? Memang dia seorang teman yang sangat peduli dan penyayang, tetapi kenapa setiap malam, dia selalu menyulut api, dan saya harus bertugas menjadi pemadam kebakaran?
Saya lelah.
Namun, saya bertahan–setidaknya hingga sejauh ini.
Yang saya tahu, hubungan ini belum dimulai, kami belum menjadi partner ataupun pacar ataupun hal-hal lainnya yang berkaitan tentang hubungan romantis. Dia hanya ingin ada support system, tapi saya ingin lebih dari itu. Saya ingin memilikinya tetapi saya tahu ini terlalu cepat, waktu dua bulan kurang lebih, belum cukup waktu untuk mengenalnya lebih dalam–dan segala problematik yang ia hantarkan ke saya, saya jauh lebih problematik dibandingkan dirinya.
Saya punya tato di dekat urat nadi, sebuah tanda titik koma–yang artinya adalah seberat apapun masalah hidup, melanjutkan hidup adalah sebuah tanggung jawab, kehidupan itu sangat berharga, dan saya yakin Anjani akan menjadi sosok yang lebih hebat, kuat, dan tegar dibandingkan saya.
Maaf, terkadang, walaupun sikap saya memang seperti cuek terhadap Anjani, pikiran saya selalu dipenuhi dirinya. Anjani memang belum cukup dewasa dengan sikapnya. Tapi saya tahu, saya mencintai dirinya tanpa syarat. Dan itu, harusnya sudah cukup bagi saya dan dirinya.
Seringkali, Anjani tidak mengerti sikap saya kepada dirinya. Saya yang slow respon padahal on social media. Saya sibuk. Dia sibuk. Saya sibuk, ingin cari hiburan. Dia sibuk, ingin terus cari makna. Bagaimana kita bisa bersatu? Kami seberbeda itu.
Saya membutuhkan satu perenam (⅙) dalam hidup saya untuk berada di jalan. Tidakkah dia mengerti terhadap hal itu? Saya sudah dibebani banyak tugas di kantor dan hal-hal lainnya. Tidakkah dia mengerti terhadap hal itu?
Saya pusing dan seringkali saya menangis, tetapi saya tahan, tidak saya ceritakan kepada Anjani. Padahal saya tahu, Anjani dapat menampung segala macam cerita saya. Tapi saya belum cukup yakin, saya takut dia kenapa-napa, saya menyayangi dirinya. Bentuk tidak mengkomunikasikan ini adalah bentuk rasa sayang saya.
Saya heran kepada dirinya, mau sampai kapan dia tidak mengerti dengan segala macam effort yang telah saya lakukan? Kadang-kadang terbersit untuk menyudahi semua ini, tetapi yang saya ingat, saya sangat menyayangi dirinya.
Bersambung….