Di saat aku harus memilih, diriku memilih aku
Menolak buat dicintai.
Seakan-akan itu adalah pernyataan yang sering aku gaung-gaungkan belakangan ini. Bukan berarti diriku tok 100% menolak, cuman sebagian besar diriku mengintepretasikan aku adalah seperti itu.
Sebagai seseorang yang tumbuh dengan kesendirian dan berujung mengais-ngais afeksi pada akhirnya, aku punya sebuah pemaknaan. People come and go. And that is life.
Orang yang bertahan adalah orang yang menjadikan diri kita sebagai diri kita sendiri. Terlalu lama memakai topeng pencitraan membuatku sedikit… hmm… mengidentitaskan diriku sebagai bunglon sosial.
Fleksibel dan fluiditas yang tinggi, menyebabkan diriku masuk di berbagai kalangan. Dari tingkat krucil (anak-anak), sebaya, bahkan dewasa, dan lansia. Aku bisa beradaptasi dengan cepat, mengobservasi beberapa waktu, dan melebur di dalamnya.
Apakah aku terwarnai di lingkunganku berada?
Tergantung.
Apakah aku mewarnai ke lingkunganku berada?
Tergantung.
Sebagai manusia yang hidup dan sadar bahwa ia benar-benar sedang hidup, dipastikan melihat hidup sebagai sesuatu yang tidak pernah pasti (uncertainty). Tidak ada yang bisa menjamin sedetik kita setelah membaca tulisan ini, kita jadi bahagia, sedih, gusar atau pun emosi lainnya.
And, that’s life, Bro!
4 POIN PENTING
Kembali lagi ke topik, ku mencoba mengkoneksikan beberapa hal dalam tulisan ini: topeng, bunglon sosial, ketidakpastian hidup, dan menolak buat dicintai.
- Manusia wajar untuk memakai topeng yang ingin ia tampilkan dalam kehidupan sehari-hari. Apakah ketika mereka sendiri, mereka akan membuka topengnya? Bisa dipastikan, ia harus membuka topeng itu, dan menjadi diri seutuhnya. Mencoba melihat ke dalam untuk mendapatkan insight-insight baru pada dirinya (contemplation). Atau ya, mencoba keluar dari koridor norma-norma yang ada pada dirinya. Sejenak rehat dari dunia tipu-tipu. Namun, setelah kita rehat, kita akan memakai topeng itu kembali, untuk bertemu realita yang ada di luar kamar kita.
- Ada orang yang memakai topeng yang sama ketika bertemu dengan orang lain. Ada juga yang mencoba buat menyesuaikan detail-detail topengnya ketika berada di lingkungan-lingkungan yang berbeda. Mari kita sebut “Si Bunglon Sosial” (Social Chameleon). Dia diterima di segala lingkungan. Oleh karena itu, kemungkinan dia akan kehilangan jati dirinya, saking dia diwarnai oleh banyak lingkungan yang dirinya berada. Ironis? Apakah kita mau kehilangan diri kita sendiri, sementara itu kita diterima banyak orang? Atau kita memilih diri sendiri tetapi banyak orang lain yang tidak menerima kita? Choose your own risk!
- Seringkali kita tidak bisa menempatkan diri di lingkungan yang semestinya ideal bagi diri kita. Tuhan menempatkan diri kita berada di dalam tempat yang sesuai dengan kebutuhan kita, bukan kemauan kita. Pada akhirnya, tempat-tempat kita jelajah. Melihat lagi bahwa yaa, kita harus bisa beradaptasi pada setiap tempat kita berada. Bagaimana kita memakai dan melepas topeng untuk bisa beradaptasi tetapi juga tidak kehilangan jati diri-nilai-prinsip hidup kita sendiri? Life is so very uncertainty and the answer is hope. Harapan yang buat kita bertahan hingga titik ini. Dan harapan bagiku, adalah menggantungkan diri secara transenden/vertikal ke Maha Atas.
- Topik yang berat: menolak buat dicintai. Sebenarnya lebih tepatnya, selektif atas orang yang datang dalam hidup kita. Entah itu bentuk apapun hubungannya: friendship, romantic relationship, or family. Pertanyaan yang terbentuk adalah:
Are we ready for accepting someone to become our emotional liability*?
Jawabannya bukan iya atau tidak. Tapi bagaimana kita memproses untuk mencari jawaban tersebut. Dan balik lagi, ketika aku dihadapkan pilihan-pilihan:pilih A B atau C, maka kupastikan aku akan memilih diriku, lalu manusia-manusia yang aku cintai.
*Catatan: emotional liability adalah investasi atau sesuatu yang harus kita bayar secara emosional untuk bertanggung jawab terhadap apa yang kita lakukan. Di sini konteksnya adalah ketika membuka perkenalan dengan orang baru, terbentuk sebuah konektivitas, dan akan menjadi saling bertanggungjawab terhadap interaksi-interaksi yang akan dilakukan ke depannya.