Kisah Ibu Sabar: Refleksi Jalan Panjang ke-56 Tahun
Mari kuperkenalkan Ibuku, panggil saja beliau dengan bahasa gaulnya, Mamsky. Dia adalah Ibu terbaik sepanjang masa, dan semoga di usianya yang ke-56 pada tahun ini, masih terus bisa membersamai Si Bungsu ini.
Mamsky adalah orang yang kuat, tegar, dan sabar. Seorang realis yang juga masih membumbungkan doa dan harap ke langit. Ia teguh memegang kokoh agamanya sejak kecil, bahkan berkerudung sebelum orang lain memakai kerudung. Bahkan dia harus berpindah almamater saat SMA karena menolak untuk melepas kerudungnya.
Berpindah dari masjid ke masjid lainnya, untuk menimba ilmu agama. Masa kecilnya dipenuhi sebagai aktivis nan atletis, bahkan menjadi Ketua OSIS pada masa pindah almamaternya.
Kemudian, setelah lulus dari SMA-nya, ia melanjutkan studi di Fakultas Kedokteran UI, dan memutuskan untuk menikah bersama Papsky (Ayah) pada semester kedua. Lulus dengan 3 orang anak. Melanjutkan lagi studi dengan spesialisasi anak dan magisternya, sampai lulus dengan 5 orang anak. Bahkan beberapa tahun lalu, telah menuntaskan konsulennya (subspesialis) di bidang Neonatologi (bayi baru lahir sampai 28 hari).
Semangat akademisi dan sifat saintifiknya sangat turun kepada saya. Siapa yang rela, duduk belajar dan menyimak pembelajaran sepanjang hayat, mengerjakan tugas-tugas, kecuali kami berdua. Beliau yang selalu bersabda pada saya,
“Tuntaskan studi Farmasi sampai selesai, sampai Apoteker, setelah itu kerja dan pilih jalan hidupmu sendiri.”
Sebagai seorang Ibu yang cukup demokratis nan berhati-hati-s, beliau membebaskan anaknya untuk memilih jurusan apapun, kecuali keperawatan. Kenapa? Mungkin karena mengukur potensi di dalam diri anak bungsunya, menjadi perawat cukup melelahkan, terbukti sekarang, Si Bungsu pernah mengeluh untuk merawat Ibundanya Mamsky.
“Konsep rezeki itu hanya titipan dari Allah. Walaupun kita ibaratnya punya rezeki seperti pipa besar, seringkali yang kita terima yang nyangkut-nyangkut aja di sisi pipa tersebut. Biar Allah yang menunjukkan jalan pipa-pipa kecil dari pipa besar kita, itu tersalurkan ke mana.”
Seringkali beliau selalu menekankan,
“Jangan lupa shalat. Jangan lupa ngajinya.”
Sampai pada suatu malam hari, ketika saya berkonser-ria bersama teman-teman, ada perkataannya yang cukup membuat saya berpikir dan mencukupkan konser jingkrak-jingkrakkan itu,
“Kemana Adek yang dulu?”
Cukup termenung memikirkan satu baris kalimat pesan Mamsky. Akhirnya saya tersadar, memang bukan ini yang saya mau. Saya cuman ingin diterima dan ditemani, tapi lupa jati diri sebenarnya bagaimana dan apa.
Akhir kata untuk tulisan ini yang kemana-mana, ditemani bulir air mata yang menggenang di pelipis,
“Terima kasih telah ada, Mah. Mungkin kelakukan saya suka bikin Mamah mengusap dada. Tapi sejauh itu pula, dalam dada saya, tersimpan dan mendoakan Mamah yang terbaik pula. Maaf, masih seringkali menjadi Si Bungsu yang suka buat ulah. Semoga Allah tunjukkan jalan yang benar, di mana kala kita menyimpang pada jalan yang lurus.”
Tertanda, Si Bungsu,
Ismail.