Persimpangan Jalan di Rimba Kegelapan
Saya hanya lelah dalam menentukan sikap. Atau orang-orang menyebutnya dengan jalan. Saya tiba di persimpangan. Harus memilih di antara sekonyong-konyongnya dua pilihan — yang entah mungkin sekarang kusadari itu hanya dua.
Saya cuman capek dan ingin berdamai dengan segala gemuruh dalam pikiran. Atau kekosongan di dalam relung-relung renjana. Atau matinya imaji.
Saya telah menanam banyak pohon-pohon, entah itu pohon kebaikan atau pohon keburukan. Selang-seling. Jika saya sadar dan ada yang menguatkan, saya menebang pohon-pohon keburukan itu. Namun, energi saya tidak cukup untuk menanam pohon yang baru, sehingga tunas-tunas keburukan itu muncul lagi, semakin mengakar, semakin kuat, semakin kokoh, dan semakin menjulang.
Saya pun kembali tersesat dalam rimba kegelapan. Saya hanya bingung mau pergi kemana. Alih-alih mencari jalan keluar, saya terdiam dan membeku karena saking tidak ada energi untuk hanya memikirkan jalan solusi apa yang terbaik.
Itu semua terjadi karena saya terlalu melihat hidup sebagai dikotomi. Padahal… hidup lebih punya banyak jalan dan pilihan. Hidup dengan sekompleksitas ini masa hanya dua jalan keluar? Masih banyak jalan yang belum kubakar semak-semaknya atau pun terhalang pepohonan.
Maka, tetap yakin, semua ini akan berakhir, dan aku akan pulang, ke tempat terbaik.