Saya berjalan, terkadang saya terjatuh, memar, dan luka-luka
Perjalanan kali ini, ketika saya terus berjalan menuju kebaikan dan kesempurnaannya manusia, saya selalu dipertemukan dengan jurang. Dulu saya mempersepsikan jurang dengan jatuh, memar, dan terluka.
Jurang membuat saya sendirian di bawah ini. Seringkali saya menemukan banyak orang dalam jurang ini — dengan segala ketidaksempurnaan mereka. Ada yang pincang, ada yang cacat, ada juga yang memang tidak lengkap. Satu hal yang kusadari, mereka tetap bahagia dengan segala kesederhanaannya.
Kulihat ada satu orang yang bersusah payah untuk menaiki lembah. Kulihat juga dulu, ia di lembahnya, berlatih fisik dan mentalnya untuk sampai ke atas lagi. Ia tidak suka dengan kegagalan. Ia tidak suka dengan segala macam orang di jurang ini — mungkin bukan tidak suka, tetapi seharusnya ia menerima kenyataan hidup ini, bukan?
Lama-lama kuamati dia dalam mendaki, aku mencoba mengamati diri ia lebih lekat dari kejauhan — sosok yang ternyata baru kusadari, sama dengan yang berada ketika ku mencoba mengambil air minum atau wudhu di danau. Pantulan itu… sama dengan sosok yang mendaki itu.
Kenapa ia bersusah payah untuk sampai ke atas lagi?
Bukannya ia punya teman-teman di jurang sini?
Kenapa?
Kenapa?
dan…
Kenapa?
Segala macam pertanyaan di dalam benak ini, entah disadari atau tidak jawabannya, yang saya yakini dalam hati adalah menerima kenyataan — saya terus berjalan, saya terjatuh dengan indahnya: luka dan memar memang ada, tetapi adrenalin saya terpacu untuk melakukan loncatan indah atau sekedar bungee jumping. Lalu, saya mendaki lagi, dan mengulang semua itu, sampai garis finish.
Wallahualam.